i wanna be aquila

Senin, 21 November 2011

Do The Best Today!


“Tomorrow is naught. Today is everything worthwhile, so we must do the best today”. Mr. Taufiqul Hakim Said.


I absolutely agree with his motto. By doing this motto, we will make our day more useful. I think,  many students in UIndonesia use their time off just for doing something which is not useful. They just have opinion that there is still the day tomorrow left, so they only use the day just enjoying their life by using off their day together with their friends. Generally, they used to do some destructive works, like drugs, free seks, and show wild oats.

Should we have an opinion that there is nothing tomorrow left, well do for the best today. Well not let out today wasted away. Or we can reflect an image that death will pick us up tomorrow. So, we’ll give the best for our parents and our lovely people.

Sometimes, we need to listen to what teacher and scholar said . We can get some additions for  motivation and inspiration to lead the life. Because, high motivation is beginner some success. We can get for blessing from and teachers and some scholars we could meet.

One motivation which has big effect for doing activities  should always we grasp . This is as our endeavor to make our dream really.

One more, failure is not the end of everything. But, withby some fails we’ll know our lacks that obstruct our success. And, we can complete that in next opportunity.Try and try to be the best!

We as students who have islamic base must change the life system of young generation. Because a country will be easy to be succes if the young generation can make their life or their day more useful. Everything get started from ourselves. Okey?!

 


Qurrota A’yun

Sabtu, 19 November 2011

Mereka Keluargaku

Mendung menggantung di pelataran kelas yang sedari tadi sepi. Lengang yang kini merayap di kalbuku tak urung singgah. Mataku mulai memanas ketika lamunanku terbang ke angkasa menuju dunia semu. Sepuluh tahun yang lalu..
Si aku yang mungil mengambil langkah pasti untuk beranjak dari pintu rumah. Menuju rumah baru yang masih sangat asing bagiku. Begitu juga tuan rumahnya.
“Beliau orang hebat, nduk!” begitu semangatnya ibuku memperkenalkan aku pada wanita setengah baya yang bersinggasana di rumah asing itu. Tak begitu tinggi, namun aura cantik terpancar dari dalam jiwanya yang berkharisma. Ibuku mulai mendiskripsikannya sedetail mungkin. Satu persatu kelebihannya diiming-imingkan ke aku yang polos.
“Bu Iqoh bisa menghatankan Al-Qur’an dalam satu hari.”
“Wah? Hebat ya buk?” sejak itu beliau mulai jadi tokoh idolaku. Menggantikan sosok Albert Einstein yang sedari dulu bercokol di otakku. Berawal dari berguru tilawah hingga memenuhi keinginan orang tuaku untuk menghafal Al-Qur’an. Dari situlah aku  melayangkan kakiku menjauhi garis start menuju bagian dari keluarganya. Kehidupan dan keluarga baru. Aku lebih banyak membagi waktu bersama keluarga Bu Iqoh dibanding dengan keluargaku. Di titik awal perjuanganku dengan mereka, aku sangat manja. Tak jarang aku merengek ingin pulang.
“Kangen ibuk.. kangen rumah..” suaraku terbata-bata menahan tangis yang tak lama meledak juga.
“Rumahmu gak akan berubah! Mbok tangisi koyo opo yo tetep wae bentuke ngono!” Bu Iqoh mencoba menenangkanku dengan sedikit tegas. Mungkin beliau agak jengah mendengar rengekanku itu tiap hari. Kata-kata itu masih terekam jelas di media penyimpanan otakku. Dan sering kali kuputar lagi ketika aku merasa sangat merindu dengan keluargaku atau pada mereka. Di sini, manakala aku jauh dari mereka.
Lambat laun kehidupan baruku mulai menyatu dengan kenyamananku.  Aku hanyut dalam canda mereka yang sesekali menyentil di sela-sela aktifitas kami. Aku merasa benar-benar menjadi anggota keluarganya. Keberadaanku sebagai anggota sampai di puncak keresmian tatkala rasa sayang mereka terhadapku tak kurang dari kata teramat sangat. Terang saja, Bu Iqoh memiliki 3 putra. Dan sebagai putri tunggalnya seringkali aku jadi magnet perhatian dan kasih sayang mereka. Aku semakin betah berada di komunitas ini.
Sore itu, seperti biasanya bapak mengajak kami jalan-jalan naik motor mengelilingi kampung. Sekedar menikmati indahnya sinar senja yang segera tergantikan oleh sinar perak rembulan. Atas permintaan anak-anaknya, bapak pun berhenti di sebuah warung dan membiarkan kami memilih jajanan yang kami suka. Berdasarkan pengamatanku saat itu, harga jajanku tiga kali lipat lebih mahal dari milik Kak A’ez dan Kak O’el. Entah ini hanya perasaanku, rasa GR-ku atau memang realita, yang aku yakini mereka menyayangiku sebagai putri tunggal di keluarga ini. Keluargaku.
˜{
Didalam kastil megah ini aku dapat merasakan kesejukan dhohir dan bathin. Semilir angin pegunungan sangat enak untuk dihirup. Berbeda dengan angin pantai yang kering dan panas di rumahku. Kemanapun aku melemparkan pandangan, di situ jualah beragam tanaman melambaikan daun hiijaunya. Juga suara arus sungai yang mengalir di kulon rumah kian membuatku tak ingin beranjak dari tempat ini. Di sinilah Bu Iqoh dilahirkan 33 tahun yang lalu. Rumah mbah.
Wajah-wajah asing itu menyalamiku dan menyuguhkan senyum ringannya. Ringan namun lembut dan membuatku hanyut. Meski ragu, aku tetap mencoba membaur dengan mereka. Mungkin hanya aku yang asing di sana, jadi pembicaraan mereka terdengar aneh dan garing di telingaku. Singkatnya, aku menjadi orang asing di antara orang-orang yang kuanggap asing.
Diluar prediksi dan angan-anganku. Itulah hidup. Selalu hadir dengan penuh kejutan baru. Seperti April Mop yang sudah dirancang matang oleh Allah dan kemudian dituliskan dalam Lauh Mahfudz untuk diraakan setiap makhlukNya. Tugas kita hanya merasakan, berusaha, berdo’a dan menjalani dengan ikhlas. Keadaan merasa asing itupun tak berlangsung lebih dari setengah hari. Aku mencoba mengantisipasi keanehan dan kegaringan itu dengan mengajak ngobrol Kak A’ez atau Kak O’el. Mengobrol dengan mereka jauh lebih nyaman dibandingkan mendengar dan mengikuti pembicaraan keluarga besar mbah. Mungkin selain aku anggota baru, umurku juga masih bau kunir, adik kelas bau kencur. Meski harus lewat jalan yang kurang baik karena telah membuat forum di dalam forum, justru dengan cara inilah aku lebih mengenal keluarga besar mbah. Kak A’ez menceritakan semuanya padaku. Jadi saat makan siang tiba. Rasa aneh dan garing tak lagi jadi seonggok masalah yang menghantui sudut pikirku saat aku bersama mereka. Kerena sebetulnya mereka sangat baik. Mereka juga menyayangiku layaknya Bu Iqoh dan keluarganya menyayangiku.
˜{
Bukan sesuatu yang mudah bagiku jika aku harus berpisah dengan Bu Iqoh dan keluarganya. Lima tahun juga bukan waktu yang singkat meski hanya untuk merasakan getir manisnya kehidupan bersama mereka. Seperti  kata pepatah, menghafal dikala kecil bagai mengukir di atas batu. Terlalu banyak kenangan yang tertancap di sana. Dan aku tak bisa mengahapusnya barang satu pun. Terlalu sulit. Dengan susah payah mereka menuntunku meraih impian orang tuaku yang kini menjadi impianku juga. Dengan sabar Bu Iqoh menunggu dan membantuku mengeja hafalan. Pelan tapi pasti. Dak aku yakin hafalan itulah yang kini memberi barokah pada tiap jengkal perjalananku.
Ada sesuatu yang mengharuskan Bu Iqoh merantau ke Sumatra. Dan itu berarti aku harus beradaptasi dengan kehidupan baruku. Tak pernah terbersit sekalipun di otakku jika aku harus berpisah dengan mereka. Pikirku aku akan selalu bersama mereka sampai seseorang meminangku kelak. Tapi inilah kehidupan. Aku harus bisa meyakinkan diriku bahwa inilah yang terbaik bagiku. Allah lebih tau segalanya.
Untuk pertama kalinya aku di hadapkan dilema yang cukup besar. Aku terhimpit di antara dua pilihan yang rumit. Ikut Bu Iqoh atau mencari pondok baru. Tiga perempat hatiku memilih ikut Bu Iqoh. Tapi seperempat lainnya mengharuskan untuk mematuhi orang tuaku mencari pondok baru. Tapi pada akhirnya aku tak perlu berpikir panjang karena takdir telah menentukan, kembali aku harus menerimanya dengan ikhlas.
˜{
Aku mulai merasa bahwa kehidupan mempermainkanku. Mempermainkan angan, perasaan, harapan. Walau rinduku pada keluarga Bu Iqoh telah terobati, masih ada sesuatu yang mengganjal di pojok hatiku. Putri tunggalmu yang dulu kecil mungil, kini telah tumbuh menjadi remaja. Hal itu lah yang ada di benakku ketika aku kembali berkumpul dengan keluarga Bu Iqoh setelah tujuh tahun terpisahkan jarak. Aku seperti flash back ke masa lalu. Berada di tengah-tengah kehangatan keluarga mereka. Hanya saja putra putri Bu Iqoh sudah tumbuh besar. Tak lagi seperti dulu. Aku ingin sekali mengulang masa itu. Dimana aku dengan santainya bersalaman dengan bapak, Kak A’ez ataupun Kak O’el. Tapi kini aku sudah remaja. Dan pada kenyataannya mereka bukan muhrimku, sekalipun aku menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Aku harus menjaga jarak. Jika bisa, aku akan memutar mesin waktu lalu menghentikannya di masa itu tanpa harus berputar kembali. Aku tak ingin tumbuh menjadi remaja.
Terkadang aku merasa bodoh karena menaangis sesenggukan hanya karena sebuah kenyataan yang biasa saja. Begitulah kata temanku ketika aku berusaha membagi kepedihanku padanya. Tapi bagiku ini hal berat. Bahkan aku sendiri tak yakin dengan hal berat itu. Benar-benar berat atau hanya aku yang melebih-lebihkan. Terlalu fanatik.  Ini realita yang aneh. Dan aku tak bisa memungkirinya. Aku lebih sering merindukan keluarga Bu Iqoh ketimbang kaluargaku sendiri. Pahitnya lagi, aku hanya bisa memendamnya, aku tak bisa bercerita dengan temanku. Bagaimana aku bisa bercerita tanpa menceritakan semuanya dari awal. Dan itu selalu sulit bagiku. Aku tak bisa berbagi cerita dengan mudah pada setiap orang. Berbeda dengan temanku yang bisa dengan enjoynya menggembar-gemborkan rasa kangennya pada sanak keluarga di rumah di depan banyak orang. Aku rindu oseng-oseng tahu Bu Iqoh, pertengkaran kecil yang sering timbul di celah canda tawaku dengan Kak A’ez, Kak O’el,  dan Dek Ubab, perjalanan menuju kastil megah mbah, juga angin pegunungan yang berhembus di tengah kehangatan keluargaku.
Dan reuni keluarga itu cukup menjadi penawar semuanya. Air mata haruku mengalir begitu saja tanpa bisa kubendung. Yah, meskipun tak bisa seperti dulu lagi, tapi ikatan itu cukup indah bagiku. Aku tak ingin tali persaudaraan ini terputus oleh apapun. Aku ingin kekeluargaan ini tetap seperti ini hingga batas waktu tak dapat terdefinisikan lagi.




PPYUR, UN Holiday
I present for a wedding gift my beloved uncle

Kertas Kosong

           Senja merona di ufuk cakrawala. Mentari bersembunyi di celah uraian sinar bulan. Mega merah terpantul melalui liukan air kolam yang bergemericik pelan mengiringi musikus klasik nan sangat menggoda. Enggan aku beranjak dari tempat ini. Tempat dimana aku menemukan harapanku yang sempat lenyap.
Huwalladzii khalaqakum minthinin tsumma qadhaa ajalaa..” Suara anggun Mbak Atar menembus palung hatiku dan memaksaku untuk memutar dimensi ke masa di mana aku  masih bersahabat dengan dunia luar.
˜{
Kala itu tubuh rapuhku tak jauh beda dengan mentalku yang belum pulih dari keterpurukan. Orang tua dan adikku meninggalkanku sebatang kara di dunia yang kejam ini. Sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa mereka ketika kami berniat berkunjung ke rumah eyang. Saat itu aku selalu berfikir bahwa Allah tidak adil. Mengapa hanya aku yang hidup? Mengapa Allah justru menyiksaku? Lebih baik mati dengan mayat yang bercecer daripada hidup cacat tanpa keluarga. Impianku untuk menjadi seorang penulis lenyap karena tangan kananku harus diamputasi. Jika tangan kiriku sempurna mungkin aku masih bisa belajar kidal. Tapi kemungkinan itu terhapus sesegera mungkin lantaran jari kelingking dan jempol tangan kiriku juga diamputasi. Semua diamputasi! Mengapa tidak sekalian saja amputasi leherku? Itu akan mengantarku ke surga yang hakiki. Namun, yang mereka lakukan tak ubahnya mendesainku menjadi mayat hidup.
Tragisnya lagi keluargaku justru sibuk memeperebutkan warisan orangtuaku. Hukum negara menganggap umurku yang baru sebelas tahun itu belum berhak untuk mendapat warisan orang tuaku secara sempurna. Entah apalah istilah mereka. Tak sedikitpun mereka berniat menengok kesehatanku atau hanya sekedar mengisi ulang harapanku yang telah divonis mati. Untuk membuka jalan hidupku yang buntu aku memutuskan untuk hidup bebas di luar rumah bersama teman-teman yang juga mengalami nasib serupa denganku.
Waktu dua tahun telah membuatku menjadi terbiasa dengan sentuhan angin malam yang terkadang meremukkan tulang. Hidup tanpa tujuan dan menggantung pada alam yang tak memihak. Hari itu adalah hidupku. Tak ada masa depan. Aku sedikit lebih bahagia dengan hidupku yang hampa itu. Dengan diwarnai gelak tawa dan kasih sayang teman senasib aku dapat melupakan nestapaku.
Hingga ketika sinar mentari menampar wajahku di trotoar perempatan jalan tempat di mana aku dan kawanku mengais nasi untuk menyambung hidup. Seorang wanita semampai dengan baju merah muda dan rambutnya dibalut jilbab merah jambu menghampiri kami. Wajahnya yang teduh menatap kami dengan mimik iba. Temanku mengajakku beranjak pergi meninggalkan wanita itu, ia berpikir bahwa orang seperti itu hanya akan mencemooh kami. Tapi aku mencegahnya. Aku yakin wanita ini baik. Awalnya ia menanyakan siapa nama kami. Lalu berlanjut ke kehidupan kami sehari-hari dan juga masa lalu kami yang membuat kami menjadi seperti ini. Temanku hanya diam seribu bahasa, ia masih tak yakin dengan wanita ini. Jadi akulah yang berceloteh menjawab rentetan pertanyaan darinya. Lalu dengan senyum lembut ia mengeluarkan sebuah kertas kosong dari tas selempangnya.
“Dik, Allah melahirkan manusia di dunia layaknya kertas kosong ini. Keluargamu yang pertama kali akan mewaranai dan memberi garis arah di kertasmu. Setelah itu kehidupanmu akan semakin memenuhi coretan di kertas ini. Jika Allah mengujimu dengan kehidupan yang sedikit lebih berat atau dunia itu kejam seperti yang kau katakan tadi, dan kau mengambil langkah seperti ini. Tak menutup kemungkinan kertasmu ini akan keruh dan keras oleh cat air tebal yang telah mengering. Jika benar begitu, maka goresan arah yang dulu pernah di tuliskan keluargamu akan tertutup. Untuk membuat goresan baru, kita perlu membersihkan kertasmu ini dengan penghapus yang berupa iman. Imanmu pada Allah akan mengembalikan semuanya.” Diperagakannya tutur katanya yang lembut itu dengan menunjuk dan mencoret kertas tadi. Mutiara yang mengalir dari bibirnya mampu melunakkan hati temanku yang sedikit lebih keras dari hatiku hingga ia mengucurkan air mata. Kemudian kami merasakan rindu yang teramat pada keluarga kami yang telah tiada.
Wanita tersebut mengajak kami pulang bersamanya. Subhanallah, wanita ini memang berhati mulia. Di usianya yang belia ia mampu mendirikan asrama dan sekolah untuk orang dan anak semacam kami. Memanglah sekolahnya tak sebagus sekolah RSBI yang sering digembar-gemborkan masyarakat Indonesia. Namun, ketulusan harapan dan perjuangan dari semua komponen sekolah itu mampu membuat sekolah itu jauh melampui sekolah RSBI. Sekolah itu tak memandang umur. Semua yang bersekolah di sana adalah anak gelandangan. Guru pembimbingnya juga mengajar dengan tanpa gaji sepeser pun. Jika ada lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, maka itu sangat pas dipersembahkan untuk guru-guru kami. Beliau jua lah yang mengisi ulang harapan kami dan menghidupkan angan kami. Wanita itu juga membiayai kehidupan kami sepenuhnya hingga kami siap terjun ke masyarakat untuk memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya. Itulah tujuan utamanya. Wanita yang sering pontang –panting mencari proposal untuk menghidupi dan menjadikan kami anak bangsa yang mampu dibanggakan itu ialah Mbak Atar.
Mbak Atar sangat suka berorganisasi. Ia lebih memilih bersosialisasi dengan sesama dibandingkan melanjutkan sekolah meski orang tuanya mampu dan kecerdasannya pantas diacungi jempol. Dialah stopkontak isi ulang harapan kami. Satu-persatu dari kami ia selamatkan dari dunia luar dan ia bangkitkan harapan kami. Ia selalu memaksa kami untuk terus bermimpi.
“Bermimpilah karena Allah, dan Allah akan memeluk mimpi-mimpimu itu.” Begitu ujarnya saat sedang mengontrol kegiatan adik-adiknya di asrama. Meskipun kata-kata itu menjiplak Andrea Hirata, tapi tetap terdengar indah di telinga kami. Tak pernah sedikitpun ia meremehkan bahkan menyangsikan kemampuan kami. Ia yakinkan kami bahwa setiap manusia pasti dibekali  dengan keahlian masing-masing. Hanya saja kita perlu waktu untuk mengembangkan bakat tersebut hingga menjadi kekuatan yang akan membesarkan kita.
Pernah aku melihat Mbak Atar menangis untuk pertama kalinya dihadapan banyak orang, bahkan media massa. Saat itu wartawan sedang mewawancarai temanku yang berusia 19 tahun. Tanpa rasa minder ia menjawab pertanyaan itu.
“Saya jadi gelandangan sejak usia 9 tahun. Sama sekali saya tak pernah mengenyam bangku sekolah. Jauh dalam lubuk hati saya, saya punya cita-cita untuk menjadi ilmuwan seperti Albert Einstein. Memang terlalu tinggi untuk ukuran gelandangan, maka saat itu juga ku kubur mimpi itu dalam-dalam. Hingga setahun lalu Mbak Atar menemukanku dan ia mengajariku menghidupkan mimpi yang telah kukubur. Meski umurku sudah 18 tahun, aku belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tapi Bu Guru dengan sabarnya menunutunku hingga kini aku mahir menulis dan membaca. Jika aku tak bisa sehebat Albert Einstein, itu sekarang. Kita tidak akan pernah tau esok atau lusa. Buktinya dalam satu tahun saya paham betul bagaimana pemancaran energi kalor oleh permukaan suatu benda ke lingkungannya. Tentang teori Foton yang menjelaskan hubungan radiasi kalor benda hitam denga pergeseran Wien. Juga molekul yang bergetar akan memancarkan energi diskrit atau sebaliknya molekul memancarkan energi dalam bentuk satuan diskrit yang disebut kuanta. Mungkin bagi para ilmuwan ini merupakan hal biasa, namun bagi saya ini lebih dari sekedar penemuan yang mutakhir. Saya telah menjadi ilmuwan bagi diri saya sendiri karena saya menemukan bakat saya dan mengembangkannya hingga sejauh ini. Lebih dari itu saya juga telah membuka mata masyarakat Indonesia yang sepertiganya adalah orang yang patah semangat dan gelandangan seperti saya bahwa dengan izin Allah kita bisa meraih mimpi kita, dengan modal iman dan keberanian untuk bermimpi. Dan tahukah anda sekalian siapa yang telah menuntun saya berjalan sampai di titik ini? Beliaulah Mbak kami yang tercinta. Aliyatar Rafi’ah.” Sontak semua kamera mengarah ke Mbak Atar. Sudut matanya mengeluarkan cairan bening. Dan semakin menetes deras seiring deretan pertanyaan wartawan yang tak satu pun dijawab oleh Mbak Atar.
˜{
Kutundukkan kepalaku dan ketiga jemariku yang masih tersisa kugerakkan ke atas bawah. Lalu kutengok laptop hadiah dari Mbak Atar saat ulang tahunku  lima bulan lalu. Beliau pernah berjanji padaku jika aku sudah bisa menulis kidal dengan tiga jariku, aku akan mendapat surprize yang bisa membantuku mewujudkan mimpiku. Terbukti, laptop ini mampu membantuku menyelesaikan novel perdanaku yang sekarang sedang dipasarkan di Indonesia. Novel perdanaku kuberi judul Sekolah Harapan Bangsa. Mungkin judulnya kurang menarik, tapi itulah sekolah kami. Kami bangga dengan nama itu. Karena sekolah itu kami menjadi anak yang benar-benar mampu jadi harapan Bangsa Indonesia. Isinya juga tak muluk-muluk. Hanya menceritakan kehidupanku, teman-teman senasibku, dan yang terpenting tentang gadis muslimah yang membangun jiwa kami melalui Sekolah Harapan Bangsa, Mbak Atar. Beliau sengaja tidak memberi embel-embel SD, SMP, atau SMA di depan nama sekolah kami agar tak ada kesenjangan sosial antara kami semua. Karena sekolah ini hanya berorientasi pada pengembangan bakat ‘adik didik’. Begitulah Mbak Atar menyebut kami.
Selain orang tua dan keluargaku, aku tak pernah meninggalkan nama Mbak Atar dari munajat malamku. Dialah simbol kehakikian seorang Kartini di Era Globalisasi. Dan pada kenyataannya Ibu Pertiwi sangat merindukan sosok seperti beliau. Bahkan jika bisa, aku akan membuat duplikat beliau dan akan kusebar di seluruh Indonesia agar semua rakyat Indonesia mampu menghidupkan dan yakin akan mimpinya kemudian mewujudkannya hingga mampu membesarkan nama bangsa kita di mata dunia. Dari sinilah Indonesia akan menemukan kemerdekaan.



Kudus, 7 April 2011
Sengaja ditulis untuk mengikuti lomba menulis cerpen di Universitas Muria Kudus dalam rangka memperingati Hari Kartini dengan tema ‘Kartini di Era Globalisasi’
(Terbaik 2 Se-Kab Kudus-Jepara)

Qurrota A'yun

    


Sabtu, 12 November 2011

Untuk Pembaca



Untuk pembaca, kesekiankalinya kalian menemukan sebuah karya dengan tema cinta. Pasaran. Mungkin itulah yang terbesit dalam benak anda. Saya menghargai, karena anda memiliki hak penuh untuk memberi label sebuah tulisan. Sama halnya saya memiliki hak penuh untuk menulis dengan tema yang pasaran. Cinta.
Untuk pembaca, tulisan ini mungkin berbeda dengan segelintir karya yang berhasil saya selesaikan sejauh ini. Saya pribadi tak bisa mengklaim tulisan ini sebagai sebuah cerpen. Disini, opini anda ditantang untuk sekedar membaca tulisan tak beraturan.
JJJ
Part I (Quds, last of oct ’11)
Oke, mungkin sudah 2 tahun kita gak ketemu sama sekali. Tapi entah perasaan apa ini? Haruskah aku membencinya? Perasaan ini telah menyatu pada diriku. Mengapa sampai detik ini aku tak bisa mengusirnya barang sejengkal dari hatiku? Rabb, aku tak bisa membohongi diriku. Entahlah. Hamba yakin kau mengerti atas apa yang hamba alami. Dan hamba yakin, segala yang terjadi adalah yang terbaik untuk hamba. Hamba juga yakin, engkau telah memberikan kekuatan yang lebih untuk hamba, agar hamba bisa melewatinya dengan mudah. Kalaupun perasaan itu masih melekat disini, itu memang karena hamba belum siap untuk kehilangannya.
Aku tau, aku sadar.. airmataku terlalu berharga untuk jatuh karenanya. Tapi aku tak bisa menahannya. Samasekali tak bisa... Rabb... tolong hapus memori itu dari otakku. Ia menyiksa batinku. Ia memerintahkan otakku agar mengaitkan tiap hal yang terjadi dengan kisahku dengannya.
Jujur, aku capek kayak gini terus. Tapi semua ini reflek. Begitu saja tanpa aba-aba.. aku malu mengakuinya, aku malu mengakui bahwa aku menyayangimu.. menyayangi seseorang yang hanya mempermainkan aku, seperti boneka tolol. But, I still Need u.
JJJ
Tak ada satupun orang yang ingin hidup gelisah karena bayang-bayang masa lalu. Semua ini berawal dari.. Takdir mempertemukanku dengan seorang pria tolol dengan segala kepolosannya. Tolol karena ia telah merenggut keacuhanku terhadap rasa asing yang kunamakan cinta. Begitu mudahnya ia membuat garis lurus dengan sudut seratus delapan puluh derajat di atas hati kosongku. Dan heroin itu mengharuskanku mengikuti perputaran garis secara mendadak dengan senang hati. Seratus delapan puluh derajat. Aku berlari sembari tertawa lepas mengikuti garis lurus itu. Mulus, tanpa hambatan. Hingga suatu masa datang. Tinta itu habis dan garis itu berhenti melaju. Terlambat untuk menginjak rem. Aku terlanjur melewati ruang tanpa batas. Arahku hilang. Sebagian dariku diterpa badai, sampai detik dimana aku berpijak sekarang. Tempatku membuang bayangnya.
Dalam lunglai aku meraihnya. Disini aku merasa lebih baik. Semua anugrah Allah yang terkubur, kini tampak di permukaan dan mengangkatku dengan berbangga. Prestasiku melejit. Di luar anganku sebelumnya. Kuanggap ini hadiah dariNya atas keberdirianku. Menyibukkan diri dengan segudang tugas dan aktifitas masih belum cukup. Otakku terfokus pada tugas-tugas itu. Tapi hatiku lain. Ia selalu menyebutnya.
Begitu banyak syair lagu dan cerita yang menyuratkan kegilaan terhadap makhlukNya. Lalu, mengapa dalam kasus ini aku merasa sendiri. Kufikir tak ada orang setolol aku yang menafikan diri sendiri demi rasa yang membuatnya remuk sejalan dengan merangkaknya mentari. Dulu, fisikku rapuh, tak lebih kuat dari akar lumut. Tapi saat itu, batinku selalu damai karenamu. Astaghfirullah.. ampuni hamba atas perasaan ini. Bukankah kita haram untuk berkata sedemikian rupa? Karena hanya Allah semata yang mengirimkan kedamaian di hati kita. Bukan mereka yang kita cintai. Tapi hatiku dirajai nafsu. Nafsu? Relakah fitrah cinta kita ternodai oleh nafsu? Tidak akan pernah. Memang Allah yang mengirimkan kedamaian itu, dengan perantara insan yang selalu sempurna di mata kita. Sebab, semua butuh perantara.
Sekarang, aku bersinar seperti mentari. Hampir seluruh atmosfer mampu mencium sinarku. Dan tak ada makhluk bumi yang mampu menyentuh satu partikel milik matahari. Karena partikelku bersifat korosif. Bagaimana orang lain bisa menyentuhnya jika hatiku sendiri terbakar? Menguap kemudian lenyap. Dan.. mati.
Ketidakmungkinan berbalik nyata. Perasaanku kehilangan rasa.
JJJ
Part II (Qudz, 14 Oct ’11)
Sayang, aku rindu kau. Sangat. Sejuta fikiran tentangmu kini sedang bermain ria di pelupuk mataku. Khawatir pastinya. Wanita mana yang tak takut kekasihnya jatuh hati pada wanita yang lain? Jika ingat hal itu,aku langsung saja teringat kata-katamu kala itu..
“Serahkan semuanya pada Allah, sayang. Jika kita memang jodoh, Allah akan mempertemukan kita kelak.”
Aku sendiri  tak pernah menyadari sejak kapan kita saling menyayangi? Sejak Allah menakdirkannya pastinya. Haha.
Terimakasih telah mengembalikan hidupku seperti semula. Besar kemungkinan Allah telah mengirimmu untuk menjawab munajadku selama ini. Baik-baik di sana ya?
 (Qudz, 17 oktober 2011)
Lewat bau harum yang disampaikan angin ini. Aku ingin alam tau, bahwa aku sedang ‘gembira’. ‘gelisah sirna manakala membaca pesan dari anda’. Terimaksih telah menyempatkan untuk membaca dan membalas pesanku. Aku tau ini merupakan sesuatu yang lebih bagi orang cuek semacammu. Maaf, aku tidak bisa menyembunyikan rasa itu. Hingga, kuteriakkan perasaanku pada riak air kolam ikan di depan kantor kepala sekolah. Dan aku membisikkannya pada desir angin yang menggoyangkan dedaunan mangga di depan kelas XII IPS. Sejenak kemudian. Angin itu kembali dan membuat gesekan bersyarat. Oh, betapa air mata ini akan jatuh. Aku tak pernah berharap muluk-muluk darimu atau dariNya. Dambaku akan kesetiaanmu. Harapku agar Ia memudahkan jalan kita jika memang kita berjodoh.
Entah sejak kapan wajah-wajah itu mulai terkikis. Bermetamorfosis menjadi wajah acuh yang justru tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kini, barisan semut yang pernah kau kirimkan padaku, selalu mengelilingi dan memenuhi volume otakku. Saranghe__
(Ummu Kultsum II_Rabu, 19 oct ‘11_ 02.10 a.m.)
Masih pagi buta. Niatku hendak mengerjakan matematika. Tapi apa daya? Aku butuh tutor untuk itu. Sedang temanku tengah tertidur pulas. Emm.. Entah aku yang susah paham atau hanya karena bayangmu yang muncul di tiap lembar tugasku.
Kalau kau tadi bilang kangen. Maka aku lebih dari itu. Aku amat sangat merindukan dan kangen sekali banget sama kamu. Lebay mode : on. Sebenernya tadi aku mau bilang kalau aku juga kangen sama kamu. Tapi aku gengsi. Ah, biar seru dibuat lucu aja. Terimakasih telah melukiskan senyum itu.
JJJ
Idul fitri 1432 H. Genap tujuh belas tahun jika dihitung dari hari pertama kali aku bernafas di bumi. Singkat cerita, perasaanku hidup kembali. Saat itu, aku seperti mendapat kado yang sangat berharga.
Maaf, aku tak bisa menuliskan keterangan lebih dari ini. Entah kenapa, sesuatu yang biasanya kutuangkan begitu saja. Seketika beku tatkala aku hanya akan menuliskan tentang bintangku yang lain. Pada intinya aku sangat bahagia karena telah menemukan orang yang dapat mengikis perasaanku terhadapnya. Maaf, karena keterbatasanku ini.
JJJ
Part III (Lantai 3 PPYUR_11.00 p.m._8 nov 2011)
Plis, aku ga bisa bohongin diriku sendiri. Ini terlalu rumit. Aku tak ingin kau pergi, tapi aku sakit karena keberadaanmu. Aku tak bisa menemukan rasa itu di mata orang lain. Aku tak ingin melebih-lebihkan. Hanya ingin jujur. Karena dusta itu sakit. Aku tau, sudah terlalu banyak telinga yang mendengar kisahmu dari mulutku. Dan aku tak mungkin mengulanginya sehingga mereka muak. Mereka ingin aku melupakanmu. Begitu juga denganku. Aku ingin kau pergi dari ingatanku. Sampai kapan?? Ha?
Mengapa orang-orang dengan mudahnya melenyapkan perasaan mereka? Itu karena mereka. Dan aku bukanlah mereka. Aku adalah aku dan perasaan ini.
Haruskah aku menangis karenamu ketika orang lain menyakitiku? Tak mungkin! Seharusnya aku menangis karena orang lain. Bukan karenamu. Harus berapa kali aku bilang.. aku capek dengan semua ini. Bahkan mataku sudah cukup hitam semenjak hari itu. Sakiit. Hentikan semua ini!
Pergi dari mimpi malamku! Syaraf sadarku mungkin masih bisa aku kendalikan untuk meminimalisir kenangan kita. Tapi alam bawah sadarku ‘sakau’ karenamu. Ia menggila. Menerobos punggung waktu. Memutar tiap detailnya. Perlahan mematikanku.  Dan aku harus pandai mencari nafas ketika hidungku tersumbat dan hanya oksigen limit yang kau suguhkan. Aku harus bertahan dari semua ini. Tak akan ada yang mempercayai ini. Ini hal yang terlalu konyol. Dan hanya akan dilakukan oleh gadis tolol. Hanya aku dan perasaan itu.
TariMan.. :’)
JJJ
Kemarin, bintangku yang lain mematahkan harapanku. Sikapnya berubah total. Anehnya, orang tuaku justru mempercayainya. Biarlah. Biarkan semua mengalir sebagaimana mestinya. Benci dan sakit hati tetap ada. Tapi itu tak lebih dari satu menit. Selebihnya, justru aku de javu. Masuk dalam lorong waktu dan mengulang hari itu. Waktu yang redup. Cahayaku terenggut.
Senyum remeh menyentil keluar dari mulutku. “Kau takkan bisa buatku menangis. Cukup aku menangis karena bintang pertamaku.” Aku bangkit lalu merobohkan diri. Dan tulisan dalam Part III itu mengalir begitu saja seiring airmataku.
Awal aku menginjakkan kaki di tempat ini, aku fikir melupakannya akan menjadi hal mudah. Tapi aku salah. Semakin keras usahaku melepasnya, semakin kuat pula ia bercokol di hatiku. Menjajahnya dengan semena-mena. Karena itu, kuputuskan untuk tak memaksakan diri menghapus satu paket perasaan cinta yang kini tengah naik dalam tingkatan kasta sayang.
 Bahkan, aku memanjakannya. Kubiarkan ia memiliki angan dan perasaanku. Menguasai imajiku melampaui tingkatan level tertinggi. Karena taukah anda? Dengan cara itu ia akan jadi bintang dari setiap karyaku. Dan bintang itu akan memberikan nyawa, sehingga karyaku hidup. Seperti halnya perasaanku untuknya.
Berdasarkan pemahamanku setelah membaca novel ‘Perahu Kertas’ karya : Dee. Seorang seniman butuh bintang untuk jadi sumber inspirasinya. Saat ia dapat menemukan bintang itu, maka ia akan dapat mencapai rasa. Itulah dia. Yang kita cari dalam sebuah karya. Untuk itu, aku berterimakasih padamu. Meskipun aku harus sakit karenamu, di sisi lain aku dapat menemukan bintangku karenamu. Eh Maaf, maksudku karena Allah dengan perantaramu. Hehe..
JJJ
Untuk pembaca, amati tanggal dimana saya menulis letupan-letupan rasa. Maka, anda akan dapat menemukan bahwa sebetulnya saya sedang di permainkan perasaan. Hari ini A, nanti malam B, dan besok pagi A. Dan saat itu saya kacau. Bintangku tiba-tiba redup. Inspirasiku enyah. Berbeda dengan saat ini. Ketika saya mulai menulis karya ini. Kubalikkan keadaan dengan mempermainkan perasaanku sendiri. Jadi, permainkan perasaanmu maka kau akan bertahta, atau kau akan di permainkan perasaanmu dan kau mati rasa!
Untuk pembaca, di dalam karya ini ada dua bintang. Rasakan perbedaan rasa yang anda tangkap dari Part I, Part II, dan Part III. Maka anda akan mendapati kehampaan pada Part II. Itulah hidup. Kita tak akan pernah dapat mengingkari hati kita sendiri. Pada hakekatnya naluri kita hanya bernaung dalam satu bintang. Temukan bintang itu! Dekaplah ia dengan keyakinan pasti.




Selesai dibuat : Kudus, 9 November 2011 at 01.00 a.m.



Inilah hidup,,seMua orang pasti akan merasakan rasa yg tak pernah mereka duga sebelumnya..tapi satu yg paling penting. SIYUM,,,OKADA JUA KARYA ELU! CONTRENG MAK,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
(mksii dah dbri ksmpatn wat comces2an n maap klo comcesny STRES(kyk gua!huaha)sssttt,,,singkat padat dan peLiT,,,yuph! Yg pnting dah mengapresiasikke hak ideologine a,,,kata2ne mkin bwah mkin occang juga og,,,sdkit saran yak,,,bwat ada sesuatu yg bsa menjulat para pembaca,,,sesuatu yg bkin mereka slalu inget ma karya elu(smcam glondong gtu deh,,(?!%$^&)...sma kyk elu inget DEE. Paham jeng? Ga? Sama!) :D
Salam: Sang STAR-STAR-AN

Haha. Amazing lah wes pkoe :p tapi itu cerita gue banget. Haha. 10 jempol pun kalo aku punya aku kasi buat kamu semua, kwkw. Terus berkarya loh yah :D mumpung masii klas 2, blum sibuk mikirin UN kya aku ==’
@princesshadna




Mungkin terlalu dini untuk berbicara masalah cinta. tapi seiring berjalannya waktu, mau tidak mau, berkenan atau tidak, perputaran waktu mengharuskan kita untuk berfikir tentang hal tersebut. Sulit memang untuk melupakan kenangan bersama seseorang yang pernah menjadi sosok terpenting dalam hidup kita.  It’s your at time! Ingat ‘at time’ bukan untuk selamanya, itu berarti perasaan yang ada dalam benakmu hanya untuk sementara, hanya karena benakmu masih hinggap pada kenangan masa lalu. Aku atau teman-temanmu bukanlah berarti muak atau enggan menerima keluh kesahmu tentangnya, tapi itulah cara kami memberikan bentuk cinta kasih kami terhadapmu. Kami ingin kamu bangkit dari ingatanmu tentang semua masa lalumu. Semua orang punya sejuta cerita masa lalu, kau tak usah menginginkan untuk menjadi mereka yang dengan mudahnya melupakan masa lalu mereka. Allah telah memilih porsi-porsi tersendiri untuk setiap hambaNya. Intine, sante wae lhah Allah adalah produser terhandal, tak ada yang tau batas skenarioNya. Yang kamu butuhkan hanyalah yakin dengan apa yang ada di depanmu. Boleh saja menoleh ke masa lampau tapi tujuan mengingat masa lampau hanyalah sebagai koreksi terhadap diri kita untuk masa yang akan datang. Semoga seiring dengan bertambahnya waktu, bertambah pula ketegaran dalam hidupmu.
Eh coment buat cerpennya :  aku mulai menemukan nyawamu dalam karyamu.
e-MINADIN