Mendung menggantung di pelataran kelas yang sedari tadi sepi. Lengang yang kini merayap di kalbuku tak urung singgah. Mataku mulai memanas ketika lamunanku terbang ke angkasa menuju dunia semu. Sepuluh tahun yang lalu..
Si aku yang mungil mengambil langkah pasti untuk beranjak dari pintu rumah. Menuju rumah baru yang masih sangat asing bagiku. Begitu juga tuan rumahnya.
“Beliau orang hebat, nduk!” begitu semangatnya ibuku memperkenalkan aku pada wanita setengah baya yang bersinggasana di rumah asing itu. Tak begitu tinggi, namun aura cantik terpancar dari dalam jiwanya yang berkharisma. Ibuku mulai mendiskripsikannya sedetail mungkin. Satu persatu kelebihannya diiming-imingkan ke aku yang polos.
“Bu Iqoh bisa menghatankan Al-Qur’an dalam satu hari.”
“Wah? Hebat ya buk?” sejak itu beliau mulai jadi tokoh idolaku. Menggantikan sosok Albert Einstein yang sedari dulu bercokol di otakku. Berawal dari berguru tilawah hingga memenuhi keinginan orang tuaku untuk menghafal Al-Qur’an. Dari situlah aku melayangkan kakiku menjauhi garis start menuju bagian dari keluarganya. Kehidupan dan keluarga baru. Aku lebih banyak membagi waktu bersama keluarga Bu Iqoh dibanding dengan keluargaku. Di titik awal perjuanganku dengan mereka, aku sangat manja. Tak jarang aku merengek ingin pulang.
“Kangen ibuk.. kangen rumah..” suaraku terbata-bata menahan tangis yang tak lama meledak juga.
“Rumahmu gak akan berubah! Mbok tangisi koyo opo yo tetep wae bentuke ngono!” Bu Iqoh mencoba menenangkanku dengan sedikit tegas. Mungkin beliau agak jengah mendengar rengekanku itu tiap hari. Kata-kata itu masih terekam jelas di media penyimpanan otakku. Dan sering kali kuputar lagi ketika aku merasa sangat merindu dengan keluargaku atau pada mereka. Di sini, manakala aku jauh dari mereka.
Lambat laun kehidupan baruku mulai menyatu dengan kenyamananku. Aku hanyut dalam canda mereka yang sesekali menyentil di sela-sela aktifitas kami. Aku merasa benar-benar menjadi anggota keluarganya. Keberadaanku sebagai anggota sampai di puncak keresmian tatkala rasa sayang mereka terhadapku tak kurang dari kata teramat sangat. Terang saja, Bu Iqoh memiliki 3 putra. Dan sebagai putri tunggalnya seringkali aku jadi magnet perhatian dan kasih sayang mereka. Aku semakin betah berada di komunitas ini.
Sore itu, seperti biasanya bapak mengajak kami jalan-jalan naik motor mengelilingi kampung. Sekedar menikmati indahnya sinar senja yang segera tergantikan oleh sinar perak rembulan. Atas permintaan anak-anaknya, bapak pun berhenti di sebuah warung dan membiarkan kami memilih jajanan yang kami suka. Berdasarkan pengamatanku saat itu, harga jajanku tiga kali lipat lebih mahal dari milik Kak A’ez dan Kak O’el. Entah ini hanya perasaanku, rasa GR-ku atau memang realita, yang aku yakini mereka menyayangiku sebagai putri tunggal di keluarga ini. Keluargaku.
{
Didalam kastil megah ini aku dapat merasakan kesejukan dhohir dan bathin. Semilir angin pegunungan sangat enak untuk dihirup. Berbeda dengan angin pantai yang kering dan panas di rumahku. Kemanapun aku melemparkan pandangan, di situ jualah beragam tanaman melambaikan daun hiijaunya. Juga suara arus sungai yang mengalir di kulon rumah kian membuatku tak ingin beranjak dari tempat ini. Di sinilah Bu Iqoh dilahirkan 33 tahun yang lalu. Rumah mbah.
Wajah-wajah asing itu menyalamiku dan menyuguhkan senyum ringannya. Ringan namun lembut dan membuatku hanyut. Meski ragu, aku tetap mencoba membaur dengan mereka. Mungkin hanya aku yang asing di sana, jadi pembicaraan mereka terdengar aneh dan garing di telingaku. Singkatnya, aku menjadi orang asing di antara orang-orang yang kuanggap asing.
Diluar prediksi dan angan-anganku. Itulah hidup. Selalu hadir dengan penuh kejutan baru. Seperti April Mop yang sudah dirancang matang oleh Allah dan kemudian dituliskan dalam Lauh Mahfudz untuk diraakan setiap makhlukNya. Tugas kita hanya merasakan, berusaha, berdo’a dan menjalani dengan ikhlas. Keadaan merasa asing itupun tak berlangsung lebih dari setengah hari. Aku mencoba mengantisipasi keanehan dan kegaringan itu dengan mengajak ngobrol Kak A’ez atau Kak O’el. Mengobrol dengan mereka jauh lebih nyaman dibandingkan mendengar dan mengikuti pembicaraan keluarga besar mbah. Mungkin selain aku anggota baru, umurku juga masih bau kunir, adik kelas bau kencur. Meski harus lewat jalan yang kurang baik karena telah membuat forum di dalam forum, justru dengan cara inilah aku lebih mengenal keluarga besar mbah. Kak A’ez menceritakan semuanya padaku. Jadi saat makan siang tiba. Rasa aneh dan garing tak lagi jadi seonggok masalah yang menghantui sudut pikirku saat aku bersama mereka. Kerena sebetulnya mereka sangat baik. Mereka juga menyayangiku layaknya Bu Iqoh dan keluarganya menyayangiku.
{
Bukan sesuatu yang mudah bagiku jika aku harus berpisah dengan Bu Iqoh dan keluarganya. Lima tahun juga bukan waktu yang singkat meski hanya untuk merasakan getir manisnya kehidupan bersama mereka. Seperti kata pepatah, menghafal dikala kecil bagai mengukir di atas batu. Terlalu banyak kenangan yang tertancap di sana. Dan aku tak bisa mengahapusnya barang satu pun. Terlalu sulit. Dengan susah payah mereka menuntunku meraih impian orang tuaku yang kini menjadi impianku juga. Dengan sabar Bu Iqoh menunggu dan membantuku mengeja hafalan. Pelan tapi pasti. Dak aku yakin hafalan itulah yang kini memberi barokah pada tiap jengkal perjalananku.
Ada sesuatu yang mengharuskan Bu Iqoh merantau ke Sumatra. Dan itu berarti aku harus beradaptasi dengan kehidupan baruku. Tak pernah terbersit sekalipun di otakku jika aku harus berpisah dengan mereka. Pikirku aku akan selalu bersama mereka sampai seseorang meminangku kelak. Tapi inilah kehidupan. Aku harus bisa meyakinkan diriku bahwa inilah yang terbaik bagiku. Allah lebih tau segalanya.
Untuk pertama kalinya aku di hadapkan dilema yang cukup besar. Aku terhimpit di antara dua pilihan yang rumit. Ikut Bu Iqoh atau mencari pondok baru. Tiga perempat hatiku memilih ikut Bu Iqoh. Tapi seperempat lainnya mengharuskan untuk mematuhi orang tuaku mencari pondok baru. Tapi pada akhirnya aku tak perlu berpikir panjang karena takdir telah menentukan, kembali aku harus menerimanya dengan ikhlas.
{
Aku mulai merasa bahwa kehidupan mempermainkanku. Mempermainkan angan, perasaan, harapan. Walau rinduku pada keluarga Bu Iqoh telah terobati, masih ada sesuatu yang mengganjal di pojok hatiku. Putri tunggalmu yang dulu kecil mungil, kini telah tumbuh menjadi remaja. Hal itu lah yang ada di benakku ketika aku kembali berkumpul dengan keluarga Bu Iqoh setelah tujuh tahun terpisahkan jarak. Aku seperti flash back ke masa lalu. Berada di tengah-tengah kehangatan keluarga mereka. Hanya saja putra putri Bu Iqoh sudah tumbuh besar. Tak lagi seperti dulu. Aku ingin sekali mengulang masa itu. Dimana aku dengan santainya bersalaman dengan bapak, Kak A’ez ataupun Kak O’el. Tapi kini aku sudah remaja. Dan pada kenyataannya mereka bukan muhrimku, sekalipun aku menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Aku harus menjaga jarak. Jika bisa, aku akan memutar mesin waktu lalu menghentikannya di masa itu tanpa harus berputar kembali. Aku tak ingin tumbuh menjadi remaja.
Terkadang aku merasa bodoh karena menaangis sesenggukan hanya karena sebuah kenyataan yang biasa saja. Begitulah kata temanku ketika aku berusaha membagi kepedihanku padanya. Tapi bagiku ini hal berat. Bahkan aku sendiri tak yakin dengan hal berat itu. Benar-benar berat atau hanya aku yang melebih-lebihkan. Terlalu fanatik. Ini realita yang aneh. Dan aku tak bisa memungkirinya. Aku lebih sering merindukan keluarga Bu Iqoh ketimbang kaluargaku sendiri. Pahitnya lagi, aku hanya bisa memendamnya, aku tak bisa bercerita dengan temanku. Bagaimana aku bisa bercerita tanpa menceritakan semuanya dari awal. Dan itu selalu sulit bagiku. Aku tak bisa berbagi cerita dengan mudah pada setiap orang. Berbeda dengan temanku yang bisa dengan enjoynya menggembar-gemborkan rasa kangennya pada sanak keluarga di rumah di depan banyak orang. Aku rindu oseng-oseng tahu Bu Iqoh, pertengkaran kecil yang sering timbul di celah canda tawaku dengan Kak A’ez, Kak O’el, dan Dek Ubab, perjalanan menuju kastil megah mbah, juga angin pegunungan yang berhembus di tengah kehangatan keluargaku.
Dan reuni keluarga itu cukup menjadi penawar semuanya. Air mata haruku mengalir begitu saja tanpa bisa kubendung. Yah, meskipun tak bisa seperti dulu lagi, tapi ikatan itu cukup indah bagiku. Aku tak ingin tali persaudaraan ini terputus oleh apapun. Aku ingin kekeluargaan ini tetap seperti ini hingga batas waktu tak dapat terdefinisikan lagi.
PPYUR, UN Holiday
I present for a wedding gift my beloved uncle
Tidak ada komentar:
Posting Komentar