i wanna be aquila

Sabtu, 19 November 2011

Kertas Kosong

           Senja merona di ufuk cakrawala. Mentari bersembunyi di celah uraian sinar bulan. Mega merah terpantul melalui liukan air kolam yang bergemericik pelan mengiringi musikus klasik nan sangat menggoda. Enggan aku beranjak dari tempat ini. Tempat dimana aku menemukan harapanku yang sempat lenyap.
Huwalladzii khalaqakum minthinin tsumma qadhaa ajalaa..” Suara anggun Mbak Atar menembus palung hatiku dan memaksaku untuk memutar dimensi ke masa di mana aku  masih bersahabat dengan dunia luar.
˜{
Kala itu tubuh rapuhku tak jauh beda dengan mentalku yang belum pulih dari keterpurukan. Orang tua dan adikku meninggalkanku sebatang kara di dunia yang kejam ini. Sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa mereka ketika kami berniat berkunjung ke rumah eyang. Saat itu aku selalu berfikir bahwa Allah tidak adil. Mengapa hanya aku yang hidup? Mengapa Allah justru menyiksaku? Lebih baik mati dengan mayat yang bercecer daripada hidup cacat tanpa keluarga. Impianku untuk menjadi seorang penulis lenyap karena tangan kananku harus diamputasi. Jika tangan kiriku sempurna mungkin aku masih bisa belajar kidal. Tapi kemungkinan itu terhapus sesegera mungkin lantaran jari kelingking dan jempol tangan kiriku juga diamputasi. Semua diamputasi! Mengapa tidak sekalian saja amputasi leherku? Itu akan mengantarku ke surga yang hakiki. Namun, yang mereka lakukan tak ubahnya mendesainku menjadi mayat hidup.
Tragisnya lagi keluargaku justru sibuk memeperebutkan warisan orangtuaku. Hukum negara menganggap umurku yang baru sebelas tahun itu belum berhak untuk mendapat warisan orang tuaku secara sempurna. Entah apalah istilah mereka. Tak sedikitpun mereka berniat menengok kesehatanku atau hanya sekedar mengisi ulang harapanku yang telah divonis mati. Untuk membuka jalan hidupku yang buntu aku memutuskan untuk hidup bebas di luar rumah bersama teman-teman yang juga mengalami nasib serupa denganku.
Waktu dua tahun telah membuatku menjadi terbiasa dengan sentuhan angin malam yang terkadang meremukkan tulang. Hidup tanpa tujuan dan menggantung pada alam yang tak memihak. Hari itu adalah hidupku. Tak ada masa depan. Aku sedikit lebih bahagia dengan hidupku yang hampa itu. Dengan diwarnai gelak tawa dan kasih sayang teman senasib aku dapat melupakan nestapaku.
Hingga ketika sinar mentari menampar wajahku di trotoar perempatan jalan tempat di mana aku dan kawanku mengais nasi untuk menyambung hidup. Seorang wanita semampai dengan baju merah muda dan rambutnya dibalut jilbab merah jambu menghampiri kami. Wajahnya yang teduh menatap kami dengan mimik iba. Temanku mengajakku beranjak pergi meninggalkan wanita itu, ia berpikir bahwa orang seperti itu hanya akan mencemooh kami. Tapi aku mencegahnya. Aku yakin wanita ini baik. Awalnya ia menanyakan siapa nama kami. Lalu berlanjut ke kehidupan kami sehari-hari dan juga masa lalu kami yang membuat kami menjadi seperti ini. Temanku hanya diam seribu bahasa, ia masih tak yakin dengan wanita ini. Jadi akulah yang berceloteh menjawab rentetan pertanyaan darinya. Lalu dengan senyum lembut ia mengeluarkan sebuah kertas kosong dari tas selempangnya.
“Dik, Allah melahirkan manusia di dunia layaknya kertas kosong ini. Keluargamu yang pertama kali akan mewaranai dan memberi garis arah di kertasmu. Setelah itu kehidupanmu akan semakin memenuhi coretan di kertas ini. Jika Allah mengujimu dengan kehidupan yang sedikit lebih berat atau dunia itu kejam seperti yang kau katakan tadi, dan kau mengambil langkah seperti ini. Tak menutup kemungkinan kertasmu ini akan keruh dan keras oleh cat air tebal yang telah mengering. Jika benar begitu, maka goresan arah yang dulu pernah di tuliskan keluargamu akan tertutup. Untuk membuat goresan baru, kita perlu membersihkan kertasmu ini dengan penghapus yang berupa iman. Imanmu pada Allah akan mengembalikan semuanya.” Diperagakannya tutur katanya yang lembut itu dengan menunjuk dan mencoret kertas tadi. Mutiara yang mengalir dari bibirnya mampu melunakkan hati temanku yang sedikit lebih keras dari hatiku hingga ia mengucurkan air mata. Kemudian kami merasakan rindu yang teramat pada keluarga kami yang telah tiada.
Wanita tersebut mengajak kami pulang bersamanya. Subhanallah, wanita ini memang berhati mulia. Di usianya yang belia ia mampu mendirikan asrama dan sekolah untuk orang dan anak semacam kami. Memanglah sekolahnya tak sebagus sekolah RSBI yang sering digembar-gemborkan masyarakat Indonesia. Namun, ketulusan harapan dan perjuangan dari semua komponen sekolah itu mampu membuat sekolah itu jauh melampui sekolah RSBI. Sekolah itu tak memandang umur. Semua yang bersekolah di sana adalah anak gelandangan. Guru pembimbingnya juga mengajar dengan tanpa gaji sepeser pun. Jika ada lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, maka itu sangat pas dipersembahkan untuk guru-guru kami. Beliau jua lah yang mengisi ulang harapan kami dan menghidupkan angan kami. Wanita itu juga membiayai kehidupan kami sepenuhnya hingga kami siap terjun ke masyarakat untuk memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya. Itulah tujuan utamanya. Wanita yang sering pontang –panting mencari proposal untuk menghidupi dan menjadikan kami anak bangsa yang mampu dibanggakan itu ialah Mbak Atar.
Mbak Atar sangat suka berorganisasi. Ia lebih memilih bersosialisasi dengan sesama dibandingkan melanjutkan sekolah meski orang tuanya mampu dan kecerdasannya pantas diacungi jempol. Dialah stopkontak isi ulang harapan kami. Satu-persatu dari kami ia selamatkan dari dunia luar dan ia bangkitkan harapan kami. Ia selalu memaksa kami untuk terus bermimpi.
“Bermimpilah karena Allah, dan Allah akan memeluk mimpi-mimpimu itu.” Begitu ujarnya saat sedang mengontrol kegiatan adik-adiknya di asrama. Meskipun kata-kata itu menjiplak Andrea Hirata, tapi tetap terdengar indah di telinga kami. Tak pernah sedikitpun ia meremehkan bahkan menyangsikan kemampuan kami. Ia yakinkan kami bahwa setiap manusia pasti dibekali  dengan keahlian masing-masing. Hanya saja kita perlu waktu untuk mengembangkan bakat tersebut hingga menjadi kekuatan yang akan membesarkan kita.
Pernah aku melihat Mbak Atar menangis untuk pertama kalinya dihadapan banyak orang, bahkan media massa. Saat itu wartawan sedang mewawancarai temanku yang berusia 19 tahun. Tanpa rasa minder ia menjawab pertanyaan itu.
“Saya jadi gelandangan sejak usia 9 tahun. Sama sekali saya tak pernah mengenyam bangku sekolah. Jauh dalam lubuk hati saya, saya punya cita-cita untuk menjadi ilmuwan seperti Albert Einstein. Memang terlalu tinggi untuk ukuran gelandangan, maka saat itu juga ku kubur mimpi itu dalam-dalam. Hingga setahun lalu Mbak Atar menemukanku dan ia mengajariku menghidupkan mimpi yang telah kukubur. Meski umurku sudah 18 tahun, aku belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tapi Bu Guru dengan sabarnya menunutunku hingga kini aku mahir menulis dan membaca. Jika aku tak bisa sehebat Albert Einstein, itu sekarang. Kita tidak akan pernah tau esok atau lusa. Buktinya dalam satu tahun saya paham betul bagaimana pemancaran energi kalor oleh permukaan suatu benda ke lingkungannya. Tentang teori Foton yang menjelaskan hubungan radiasi kalor benda hitam denga pergeseran Wien. Juga molekul yang bergetar akan memancarkan energi diskrit atau sebaliknya molekul memancarkan energi dalam bentuk satuan diskrit yang disebut kuanta. Mungkin bagi para ilmuwan ini merupakan hal biasa, namun bagi saya ini lebih dari sekedar penemuan yang mutakhir. Saya telah menjadi ilmuwan bagi diri saya sendiri karena saya menemukan bakat saya dan mengembangkannya hingga sejauh ini. Lebih dari itu saya juga telah membuka mata masyarakat Indonesia yang sepertiganya adalah orang yang patah semangat dan gelandangan seperti saya bahwa dengan izin Allah kita bisa meraih mimpi kita, dengan modal iman dan keberanian untuk bermimpi. Dan tahukah anda sekalian siapa yang telah menuntun saya berjalan sampai di titik ini? Beliaulah Mbak kami yang tercinta. Aliyatar Rafi’ah.” Sontak semua kamera mengarah ke Mbak Atar. Sudut matanya mengeluarkan cairan bening. Dan semakin menetes deras seiring deretan pertanyaan wartawan yang tak satu pun dijawab oleh Mbak Atar.
˜{
Kutundukkan kepalaku dan ketiga jemariku yang masih tersisa kugerakkan ke atas bawah. Lalu kutengok laptop hadiah dari Mbak Atar saat ulang tahunku  lima bulan lalu. Beliau pernah berjanji padaku jika aku sudah bisa menulis kidal dengan tiga jariku, aku akan mendapat surprize yang bisa membantuku mewujudkan mimpiku. Terbukti, laptop ini mampu membantuku menyelesaikan novel perdanaku yang sekarang sedang dipasarkan di Indonesia. Novel perdanaku kuberi judul Sekolah Harapan Bangsa. Mungkin judulnya kurang menarik, tapi itulah sekolah kami. Kami bangga dengan nama itu. Karena sekolah itu kami menjadi anak yang benar-benar mampu jadi harapan Bangsa Indonesia. Isinya juga tak muluk-muluk. Hanya menceritakan kehidupanku, teman-teman senasibku, dan yang terpenting tentang gadis muslimah yang membangun jiwa kami melalui Sekolah Harapan Bangsa, Mbak Atar. Beliau sengaja tidak memberi embel-embel SD, SMP, atau SMA di depan nama sekolah kami agar tak ada kesenjangan sosial antara kami semua. Karena sekolah ini hanya berorientasi pada pengembangan bakat ‘adik didik’. Begitulah Mbak Atar menyebut kami.
Selain orang tua dan keluargaku, aku tak pernah meninggalkan nama Mbak Atar dari munajat malamku. Dialah simbol kehakikian seorang Kartini di Era Globalisasi. Dan pada kenyataannya Ibu Pertiwi sangat merindukan sosok seperti beliau. Bahkan jika bisa, aku akan membuat duplikat beliau dan akan kusebar di seluruh Indonesia agar semua rakyat Indonesia mampu menghidupkan dan yakin akan mimpinya kemudian mewujudkannya hingga mampu membesarkan nama bangsa kita di mata dunia. Dari sinilah Indonesia akan menemukan kemerdekaan.



Kudus, 7 April 2011
Sengaja ditulis untuk mengikuti lomba menulis cerpen di Universitas Muria Kudus dalam rangka memperingati Hari Kartini dengan tema ‘Kartini di Era Globalisasi’
(Terbaik 2 Se-Kab Kudus-Jepara)

Qurrota A'yun

    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar